Sejarah Kerajaan Hindu - Buddha


                                                Sumber : https://salamadian.com/kerajaan-hindu
                                                -budha-di-indonesia/

    Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu - Budda berkat hubungan dagan dengan negara-negara tetangga

maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah TImur Tengah, Indonesia dulunya merupakan Kepulauan Kerajaan

yang didominasi oleh kerajaan Hindu - Buddha, oleh karena itu sekarang banyak sekali peninggalan-peninggalan kerajaan

tersebut yang masih diabadikan di museum, seperti prasasti, candi-candi, gulungan.


    Menurut para ahli, Agama Hindu masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi, karena dibawa oleh para musafir (pengembara)

dari India yang terkenal dengan sebutan Maha Resi, sedangkan Agama Buddha juga diperkirakan masuk dikarenakan terbawa

oleh musafir yang berasal dari Tiongkok.


Di Jawa Barat banyak berkembang kerajaan Hindu-Buddha, seperti kerajaan Tarumanegara


1. Kerajaan Tarumanegara


Di Jawa barat banyak berkembang kerajaan Hindu-Buddha Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha yang berjaya pada abad ke -4, Kerajaan Tarumanegara terkenal karena kerajaan tersebut merupakan sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan usaha pertanian, kalau mengingat namanya tarum berarti nila, bahkan tarum dipakai sebagai nama salah satu sungai di Jawa Barat yaitu Sungai Citarum


Sumber : https://bobo.grid.id/read/082128904/pe
ninggalan-kerajaan-tarumanegara-berupa-prasa
sti-apa-saja-ya-prasastinya?page=all


A. Prasasti

1. Prasasti Tugu
Prasasti ini merupakan inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawarman yang ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, dekat Tanjung Priok, Jakarta. inskripsi ini ditulis dengan beraksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta
2. Prasasti Ciaruteun

Merupakan suatu baris tulisan yang belum dapat dibaca dengan jelas, inskripsi ini dilengkapi oleh sepasang telapak kaki, isinya sebagai berikut,


“ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki
Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang
Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja
yang gagah berani di dunia”.



Sumber : Bambang Budi Utomo
2010 Atlas Sejarah Indonesia Masa
Klasik (Hindu-Buddha). Jakarta
Kementrian Kebudayaan dan 
Pariwisata

3. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Caruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasastinya dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajah

4. Prasasti Muara Cianten

Terletak di muara Kali Cianten, Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulan, Bogor. Inskripsi ini belum dapat dibaca. Inskripsi ini dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-suluran, dan oleh para ahli disebut aksara ikal.

                                                    Sumber : Bambang Budi Utomo
                                                    2010 Atlas Sejarah Indonesia Masa
                                                    Klasik (Hindu-Buddha). Jakarta
                                                    Kementrian Kebudayaan dan 
                                                    Pariwisata   
5. Prasasti Jambu
Terletak di sebuah bukit (pasir) Koleangkak, Desa Parakan Muncang, Nanggung, Bogor. Inskripsinya dituliskan dalam dua baris tulisan dengan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta. 

B. Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat
Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan yang berjaya pada saat itu, dibawah pimpinan Purnawarman yang membawa kejayaan Kerajaan Tarumanegara sampai ke puncaknya 

Dalam masalah Agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara memeluk agama Hindu, hal ini diperkuat dengan prasasti-prasasti Tarumanegara yang berkaitan dengan agama Hindu

Pertanian merupakan mata pencaharian yang utama di sana karena itu Raja Purnawarman membuat pencegahan banjir dengan menggali sungai, yang bertujuan untuk mengalirkan airnya ke laut

2. Kerajaan Kutai
                                            Sumber: https://nusadaily.com/culture/inilah-nama
                                           -nama-raja-kutai-yang-kini-wilayahnya-jadi-calon
                                           -ibukota-ri.html

Kerajaan Kutai merupakan kerajaan yang becorak Hindu di Nusantara yang memiliki sejarah tertua berupa prasasti Yupa, bicara soal perkembangan kerajaan Kutai, terdapat sosok yang mendorong kemajuan tersebut yaitu, Raja Mulawarman

    Pada masa pemerintahan Raja Mulawarman, kerajaan Kutai mengalami zaman keemasan. Bahkan diperkirakan Kutai menjadi tempat persinggahan para pedagang Internasional yang mengakibatkan peradaban Kerajaan Kutai semakin maju, dan warga kerajaan Kutai sudah melaksanakan pertanian

3. Kerajaan Sriwijaya
                                            Sumber : https://www.romadecade.org/kerajaan-
                                            sriwijaya/#!

    Kerajaan Sriwijaya awalnya merupakan pusat perdagangan yang berkembang menjadi pusat kerajaan, sehingga Sriwijaya bersatu menjadi sebuah Kerajaan yang besar,Pada tahun 692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu. Melayu dapat ditaklukkan dan berada di bawah
kekuasaan Sriwijaya.

A. Prasasti
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit merupakan salah satu prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 605 Saka (683 SM) yang menerangkan bahwa seseorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra)
2. Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo juga merupakan salah satu prasasti dari Kerajaan Sriwijaya di sebelah Barat kota Palembang di daerah Talang Tuo. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (684 M).
3. Prasasti Telaga Batu

Prasasti ini ditemukan di Palembang, umur dari prasasti ini belum bisa dibuktikan, namun isinya diperkirakan merupakan kutukan-kutukan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan
            




Sumber : Bambang Budi Utomo
2010 Atlas Sejarah Indonesia Masa
Klasik (Hindu-Buddha). Jakarta
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata

4. Prasasti Kota Kapur


Prasasti Kota kapur merupakan prasasti yang ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 608 Saka (656 M). Yang berisi tentang permintaan kepada dewa untuk menjaga kedaulatan Sriwijaya, dan menghukum setiap orang yang berniat bermaksud jahat






B. Perkembangan Kerajaan Sriwijaya

1. Letak Geografis
Palembang sebagai pusat pemerintahan terletak di tepi Sungai Musi. Di depan sungai muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai pelindung pelabuhan di Muara Sungai Musi. Kondisi ini sangatlah menguntungkan untuk melaksanakan pemerintahan dan perdagangan serta pertahanan

2. Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam
Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja memberi kesempatan bagi Sriwijaya untuk bangkit menjadi negara Maritim

C. Perkembangan Politik dan Maritim

Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 M. Pada awal perkembangannya, raja disebut dengan Dapunta Hyang. Dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo telah ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada abad ke-7, Dapunta Hyang banyak melakukan usaha perluasan daerah.

4. Kerajaan Majapahit


    Setelah Singhasari jatuh, berdirilah Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur, antara abad ke-14 ke-15 M. Berdirinya kerajaan ini sebenarnya sudah direncanakan oleh Kertarajasa
Jayawarddhana (Raden Wijaya). nama Majapahit sendiri berasal dari Raden Wijaya yang memakan buah Maja dan langsung bereaksi pahit pada buah tersebut

    Pada masa pemerintahan Raden Wijaya, dia mendapatkan pemberontakan yang dilakukan oleh sahabat-sehabatnya yang pernah mendukung perjuangan dalam mendirikan Majapahit, kemudian tidak lama setelah itu, Raden Wijaya wafat dan digantikan oleh putranya Jayanegara, Jayanegara merupakan raja yang dikenal sebagai raja yang kurang bijaksana dan lebih senang untuk bsersenang-senang.

    Akibat sikapnya tersebut, Jayanegara mendapatkan beberapa pemberontakan, diantara pemberontakan-pemberontakan tersebut yang paling berbahaya adalah pemberontakan Kuti, dimana Pasukan Kuti berhasil menduduki Ibukota Negara, dan mendesak Jayanegara untuk mengungsi ke Desa Badander. Namun pemberontakan tersebut berhasil dibatalkan oleh Gajah Mada, sehingga Gajah Mada diberi pangkat patih.

    Pemerintahan Majapahit diteruskan oleh Raja Hayam Wuruk, pada saat inilah kerajaan Majapahit mengalami masa keemasannya dimana Raja Hayam Wuruk melakukan ekspansi bahkan sampai melebihi semenanjung Nusantara, hal ini juga diperkuat oleh Sumpah Palapa yang diikrarkan oleh patih Gadjah Mada

A. Politik dan Pemerintahan

Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan yang teratur, dimana Raja menempati posisi Pemerintahan tertinggi dan dibantu oleh berbagai badan atau pejabat

    Untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, dibentuklah badan peradilan yang disebut dengan Saptopapati. Selain itu disusun pula kitab hukum oleh Gajah Mada yang disebut Kitab Kutaramanawa. Gajah Mada memang seorang negarawan yang mumpuni. Ia memahami pemerintahan strategi perang dan hukum.

    Untuk mengatur kehidupan beragama dibentuk badan atau pejabat yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa adalah pejabat tinggi kerajaan yang khusus menangani persoalan keagamaan. Di Majapahit dikenal ada dua Dharmadyaksa.

B. Kehidupan Sosial Ekonomi

Di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk, rakyat Majapahit hidup aman dan tentram, karena Raja Hayam Wuruk selalu memperhatikan rakyatnya, bahkan sampai dibuatkan banyak fasilitas umum dan fasilitas-fasilitas yang mendukung perdagangan sehingga Kerajaan Majapahit semakin maju

1.       Kerajaan Kalingga


                                        Sumber: https://www.romadecade.org/kerajaan-kalingga/


Ratu Sima adalah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu. Kerajaan Kalingga atau Holing, diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah. Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Poli (Bali sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara Kalingga terdapat Chenla (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling,  Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah utara Gunung Muria.

 Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti T’ang. Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina, banyak hal yang kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira abad ke-7 sampai ke-9 M.

A. Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat

Raja yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita yang bernama Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. . Untuk mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah mencobanya, dengan meletakkan pundi-pundi di tengah jalan. Ternyata sampai waktu yang lama tidak ada yang mengusik pundi-pundi itu.

Akan tetapi, pada suatu hari ada anggota keluarga istana yang sedang jalan-jalan, menyentuh kantong pundi-pundi dengan kakinya. Hal ini diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga istana itu dinilai salah dan harus diberi hukuman mati. Akan tetapi atas usul persidangan para menteri, hukuman itu diperingan dengan hukuman potong kaki. Kisah ini menunjukkan, begitu tegas dan adilnya Ratu Sima. Ia tidak membedakan antara rakyat dan anggota kerabatnya sendiri.

 Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya adalah Buddha. Agama Buddha berkembang pesat. Bahkan pendeta Cina yang bernama Hwi-ning datang di Kalingga dan tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta bernama Janabadra.

Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani, karena wilayah Kalingga subur untuk pertanian. Di samping itu, penduduk juga melakukan perdagangan.

 Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara  tahun 742 -755 M.

1.       Kerajaan Mataram Kuno

Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian tengah. Mengenai letak dan pusat Kerajaan Mataram Kuno tepatnya belum dapat dipastikan. Ada yang menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan terletak di Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu sampai sekarang belum jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu dapat diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungaisungai. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di antara Kedu sampai sekitar Prambanan.

Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita Cina.

Perkembangan Pemerintahan  

Prasasti Sojomerto

 Prasasti Canggal                              





Sumber : https://sumbersejarah1.blogspot.com/2017/11/isi-prasasti-canggal.html dan http://idsejarah.net/2019/05/prasasti-sojomerto-peninggalan-sejarah-di-era-wangsa-sailendra.html

    Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah berkuasa seorang raja bernama Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya adalah putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna.

 Dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa bagian tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa.

 Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci

sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.

 Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.

Candi Kalasan

                                Sumber: https://www.saintd.co/2019/01/wisata-candi-kalasan.html

 Setelah Raja Sanjaya wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur.

 Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra.

Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan arca Manjusri.

Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul persoalan dalam keluarga Syailendra, karena adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu (Syiwa). Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno. Satu  pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa bagian utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng memakai namanama tokoh wayang seperti Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.

    Sementara yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.

 Perpecahan di dalam keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu akhirnya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.

Candi Borobudur Mahakarya Dynasti Syailendra

                                    Sumber: https://bob.kemenpar.go.id/1896-candi-borobudur/

Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari Dinasti Syailendra pada abad ke-9. Candi itu terletak di antara dua bukit, tepatnya di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Candi Borobudur yang terletak pada satu garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi Mendut dipandang sebagai satu kesatuan. Letak candi seperti ini sesuai dengan aturan yang disebut dalam kitab-kitab pedoman para seniman agama di India. kitab itu disebut dengan Vastusastra. Suatu kitab yang menjelaskan tentang bangunan suci agama Hindu. Namun demikian, aturan-aturannya juga digunakan sebagai desain bangunan suci agama Buddha.

Borobudur merupakan karya yang unik. Susunan Candi Borobudur berbeda dengan susunan candi di India. Pada umumnya susunan candi di India berdiri di atas fondasi yang tertanam di dalam tanah. Fondasi tersebut berdenah dengan jari-jari delapan. Di titik tengah terdapat tiang yang dibuat tembus ke atas permukaan tanah, dan diteruskan menjadi tongkat dengan payung. Candi Borobudur didirikan langsung di atas bukit tanpa fondasi yang ditanam di dalam tanah seperti yang terdapat di India. Dilihat dari susunannya, Candi Borobudur merupakan sebuah teras-stupa. Kaki stupa berbentuk undak teras persegi, disusul teras mengalir yang dihiasi stupa. Susunan candi ini memperlihatkan kuatnya pengaruh kebudayaan Jawa pada abad ke-8. 

 Bangunan ini dinamai Bhumisambharabhudara yang artinya adalah bukit peningkatan kebijakan setelah melampaui sepuluh tingkat Boddhisattwa. Borobudur sendiri terdiri atas sepuluh tingkatan, yang dapat dipahami sebagai lambang ke-10, jalan Boddhisattwa. Candi itu berbentuk bujur sangkar, dengan ukuran 123 m x 123 m di bagian kakinya. Bentuk bangunan seperti itu dapat ditafsirkan sebagai bentuk mandala. Tinggi Candi Borobudur adalah 35,4 m. Secara vertikal Candi Borobudur terdiri dari dua pola, yaitu pola undak-undak persegi dan pola bangun vertikal. Karena bentuknya itulah Candi Borobudur dapat dipahami sebagai sebuah stupa yang besar.

 Dalam agama Buddha stupa merupakan perwujudan dari makrokosmos yang terdiri atas tiga tingkatan, yaitu kamadatu, rupadatu, dan arupadatu. Kamadatu merupakan alam bawah, bagian ini berada di bagian bawah Candi Borobudur. Pada kamadatu terdapat relief karmawibangga, yaitu suatu hukum sebab akibat,  yang merupakan hasil perbuatan manusia. Arupadatu adalah alam atas, yaitu tempat para dewa. Bagian ini berada pada tingkat ketiga, termasuk stupa induk berada di atas rupadatu. Cara membaca relief pada dinding Candi Barobudur searah dengan jarum jam. Sebagai candi pemujaan, Borobudur mempunyai hubungan dengan Candi Mendut dan Candi Pawon. Ketiga candi itu menunjukkan proses suatu ritual keagamaan. Mula-mula ritual keagamaan dilakukan di Candi Mendut. Kemudian dilakukan persiapan di Candi Pawon dan puncak ritual keagamaan dilakukan di Candi Borobudur.

   





                                Rupadatu                                                                            Kamadatu

Sumber: https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Ftravelinkmagz.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F10%2FDIY-Borobudur_1920x1080px_3.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Ftravelinkmagz.com%2Ftag%2Frupadhatu%2F&tbnid=Sx1bqd58RzaI_M&vet=12ahUKEwi86_eyla7sAhVUnksFHacpCD0QMygAegUIARCgAQ..i&docid=qBWyJoMYKeKxyM&w=1920&h=1080&q=rupadhatu%20candi%20borobudur&safe=strict&ved=2ahUKEwi86_eyla7sAhVUnksFHacpCD0QMygAegUIARCgAQ dan https://www.liputan6.com/citizen6/read/2292714/misteri-relief-kamadhatu-di-kaki-candi-borobudur

Dari arca dan relief yang terdapat pada dinding dan pagar  candi menunjukkan bahwa Candi Borobudur sebagai bangunan berciri agama Buddha aliran Mahayana. Dari arca dan relief itu juga dapat dilihat adanya penyatuan ajaran Mahayana dan Tantrayana, sesuai filsafat Yogacara. Dalam relief itu tergambar tentang kehidupan sehari-hari di Jawa, seperti cara berpakaian, rumah tinggal, candi, alat berburu, alat-alat keperluan sehari-hari, serta jenis-jenis tanaman.

 Dalam Kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantranaya, pada abad ke-10, Mpu Sindok dari Dinasti Isyana menyebarkan ajaran dari India, yaitu agama Buddha. Ajaran itu disebarkan di Jawa dan disesuaikan dengan pengetahuan penduduk pada saat itu. Lebih jauh lagi hasil pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk bangunan candi oleh penduduk Jawa, bukan oleh penduduk India. Candi itu kemudian digunakan sebagai sarana ibadah mereka. Bukti itu ditunjukkan dengan tidak adanya Kampung Keling yang berada di sekitar Candi Borobudur. Bukti lainnya itu ditemukannya tulisan yang memakai huruf Jawa kuno, dengan bahasa Sanskerta, dengan tidak menggunakan tata bahasa Sanskerta.


 Candi Dieng

                                Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_Candi_Dieng

Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang bernama Balaputradewa menunjukkan sikap menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini sekarang kira kenal dengan Candi Boko. Dalam pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.

 Kerajaan Mataram Kuno daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidangbidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaanmengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang anggun dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.

Candi Gedongsongo

                                Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Gedong_Songo

 Sesudah pemerintahan Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa setelah Balitung adalah Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya bencana alam dan ancaman dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.

Kekuasaan Dinasti Isyana

Pertentangan di antara keluarga Mataram, tampaknya terus berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti menyebabkan Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa. Di samping pertentangan keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Berdasarkan prasasti, pusat pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak Tamwlang diperkirakan dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa  bagian timur, Jawa bagian tengah, dan Bali.

 Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri Isyanatunggawijaya. Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah putra yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa Tguh yang memeluk agama Hindu aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhta ia digantikan oleh Raja Airlangga, yang saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama. Airlangga kemudian dinobatkan oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada.

Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.

 Pada tahun 1042, Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai pertapa dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya TunggaDewi. Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan nama Ratu Giriputri.

 Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu adalah Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara di antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri dan Madiun.

 Kerajaan Kediri adalah kerajaan pertama yang mmpunyai sistem administrasi kewilayahan negara berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang duwan.  Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut wisaya, yaitu sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau kerajaan yang disebut dengan bhumi.






Comments