Sejarah Kerajaan Hindu - Buddha
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu - Budda berkat hubungan dagan dengan negara-negara tetangga
maupun yang lebih jauh seperti India, Tiongkok, dan wilayah TImur Tengah, Indonesia dulunya merupakan Kepulauan Kerajaan
yang didominasi oleh kerajaan Hindu - Buddha, oleh karena itu sekarang banyak sekali peninggalan-peninggalan kerajaan
tersebut yang masih diabadikan di museum, seperti prasasti, candi-candi, gulungan.
Menurut para ahli, Agama Hindu masuk ke Indonesia pada awal Tarikh Masehi, karena dibawa oleh para musafir (pengembara)
dari India yang terkenal dengan sebutan Maha Resi, sedangkan Agama Buddha juga diperkirakan masuk dikarenakan terbawa
oleh musafir yang berasal dari Tiongkok.
Di Jawa Barat banyak berkembang kerajaan Hindu-Buddha, seperti kerajaan Tarumanegara
1. Kerajaan Tarumanegara
Di Jawa barat banyak berkembang kerajaan Hindu-Buddha Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha yang berjaya pada abad ke -4, Kerajaan Tarumanegara terkenal karena kerajaan tersebut merupakan sejarah tertua yang berkaitan dengan pengendalian banjir dan usaha pertanian, kalau mengingat namanya tarum berarti nila, bahkan tarum dipakai sebagai nama salah satu sungai di Jawa Barat yaitu Sungai Citarum
Sumber : https://bobo.grid.id/read/082128904/pe
ninggalan-kerajaan-tarumanegara-berupa-prasa
sti-apa-saja-ya-prasastinya?page=all
A. Prasasti
1. Prasasti Tugu
Prasasti ini merupakan inskripsi yang dikeluarkan oleh Purnawarman yang ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Desa Tugu, dekat Tanjung Priok, Jakarta. inskripsi ini ditulis dengan beraksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta
2. Prasasti Ciaruteun
“ini (bekas) dua kaki, yang seperti kaki
Dewa Wisnu, ialah kaki Yang Mulia Sang
Purnawarman, raja di negeri Taruma, raja
yang gagah berani di dunia”.
Sumber : Bambang Budi Utomo
2010 Atlas Sejarah Indonesia Masa
Klasik (Hindu-Buddha). Jakarta
Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata
3. Prasasti Kebon Kopi
Prasasti ini ditemukan di Kampung Muara, Desa Caruteun Hilir, Cibungbulang, Bogor. Prasastinya dipahatkan dalam satu baris yang diapit oleh dua buah pahatan telapak kaki gajah
4. Prasasti Muara Cianten
Terletak di muara Kali Cianten, Kampung Muara, Desa Ciaruteun Hilir, Cibungbulan, Bogor. Inskripsi ini belum dapat dibaca. Inskripsi ini dipahatkan dalam bentuk “aksara” yang menyerupai sulur-suluran, dan oleh para ahli disebut aksara ikal.
Klasik (Hindu-Buddha). Jakarta
Kementrian Kebudayaan dan
Kerajaan Tarumanegara merupakan kerajaan yang berjaya pada saat itu, dibawah pimpinan Purnawarman yang membawa kejayaan Kerajaan Tarumanegara sampai ke puncaknya
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti Kedukan Bukit merupakan salah satu prasasti dari Kerajaan Sriwijaya yang ditemukan pada tahun 605 Saka (683 SM) yang menerangkan bahwa seseorang bernama Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci (siddhayatra)
Prasasti ini ditemukan di Palembang, umur dari prasasti ini belum bisa dibuktikan, namun isinya diperkirakan merupakan kutukan-kutukan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan
Sumber : Bambang Budi Utomo
2010 Atlas Sejarah Indonesia Masa
Klasik (Hindu-Buddha). Jakarta
Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
4. Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota kapur merupakan prasasti yang ditemukan di Pulau Bangka, berangka tahun 608 Saka (656 M). Yang berisi tentang permintaan kepada dewa untuk menjaga kedaulatan Sriwijaya, dan menghukum setiap orang yang berniat bermaksud jahat
B. Perkembangan Kerajaan Sriwijaya
1. Letak Geografis
Palembang sebagai pusat pemerintahan terletak di tepi Sungai Musi. Di depan sungai muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai pelindung pelabuhan di Muara Sungai Musi. Kondisi ini sangatlah menguntungkan untuk melaksanakan pemerintahan dan perdagangan serta pertahanan
2. Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam
Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja memberi kesempatan bagi Sriwijaya untuk bangkit menjadi negara Maritim
C. Perkembangan Politik dan Maritim
Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada abad ke-7 M. Pada awal perkembangannya, raja disebut dengan Dapunta Hyang. Dalam Prasasti Kedukan Bukit dan Talang Tuo telah ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada abad ke-7, Dapunta Hyang banyak melakukan usaha perluasan daerah.
4. Kerajaan Majapahit
1. Kerajaan Kalingga
Sumber:
Ratu Sima adalah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai seorang pemimpin wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan yang berlaku dalam kerajaan itu. Kerajaan Kalingga atau Holing, diperkirakan terletak di Jawa bagian tengah. Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada Poli (Bali sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra). Sementara di sebelah utara Kalingga terdapat Chenla (Kamboja) dan sebelah selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah utara Gunung Muria.
Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti T’ang. Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina, banyak hal yang kita ketahui tentang perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan Kalingga berkembang kira-kira abad ke-7 sampai ke-9 M.
A. Pemerintahan dan Kehidupan Masyarakat
Raja yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah seorang raja wanita yang bernama Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M. Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana. Hukum dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. . Untuk mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah mencobanya, dengan meletakkan pundi-pundi di tengah jalan. Ternyata sampai waktu yang lama tidak ada yang mengusik pundi-pundi itu.
Akan tetapi, pada suatu hari ada anggota keluarga istana yang sedang jalan-jalan, menyentuh kantong pundi-pundi dengan kakinya. Hal ini diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga istana itu dinilai salah dan harus diberi hukuman mati. Akan tetapi atas usul persidangan para menteri, hukuman itu diperingan dengan hukuman potong kaki. Kisah ini menunjukkan, begitu tegas dan adilnya Ratu Sima. Ia tidak membedakan antara rakyat dan anggota kerabatnya sendiri.
Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya adalah Buddha. Agama Buddha berkembang pesat. Bahkan pendeta Cina yang bernama Hwi-ning datang di Kalingga dan tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga, ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta bernama Janabadra.
Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani, karena wilayah Kalingga subur untuk pertanian. Di samping itu, penduduk juga melakukan perdagangan.
Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun 742 -755 M.
1. Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno berdiri pada pertengahan abad ke-8 di
Jawa bagian tengah. Mengenai letak dan pusat Kerajaan Mataram Kuno tepatnya
belum dapat dipastikan. Ada yang menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan
terletak di Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu sampai sekarang belum jelas.
Keberadaan lokasi kerajaan itu dapat diterangkan berada di sekeliling
pegunungan, dan sungaisungai. Di sebelah utara terdapat Gunung Merapi, Merbabu,
Sumbing, dan Sindoro; di sebelah barat terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah
timur terdapat Gunung Lawu, serta di sebelah selatan berdekatan dengan Laut
Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai
Bogowonto, Elo, Progo, Opak, dan Bengawan Solo. Letak Poh Pitu mungkin di
antara Kedu sampai sekitar Prambanan.
Ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram Kuno di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung. Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah untuk Kerajaan Mataram Kuno juga berasal dari berita Cina.
Perkembangan Pemerintahan
Prasasti Sojomerto
Prasasti Canggal
Sumber : https://sumbersejarah1.blogspot.com/2017/11/isi-prasasti-canggal.html dan http://idsejarah.net/2019/05/prasasti-sojomerto-peninggalan-sejarah-di-era-wangsa-sailendra.html
Sebelum Sanjaya berkuasa di Mataram Kuno, di Jawa sudah
berkuasa seorang raja bernama Sanna. Menurut prasasti Canggal yang berangka
tahun 732 M, diterangkan bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja
Sanjaya adalah putra Sanaha, saudara perempuan dari Sanna.
Dalam Prasasti
Sojomerto yang ditemukan di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama
Dapunta Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan Dapunta Syailendra
berasal dari Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa di Jawa
bagian tengah. Dalam hal ini Dapunta Syailendra diperkirakan yang menurunkan
Sanna, sebagai raja di Jawa.
Sanjaya tampil
memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 717 - 780 M. Ia melanjutkan
kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil
bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja
Sanjaya mendirikan bangunan suci
sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa lingga dan
berada di atas Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan
lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.
Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.
Candi Kalasan
Sumber: https://www.saintd.co/2019/01/wisata-candi-kalasan.html
Setelah Raja Sanjaya
wafat, ia digantikan oleh putranya bernama Rakai Panangkaran. Panangkaran
mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang
berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah dan
memerintahkan membangun sebuah candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk
para pendeta agama Buddha. Tanah dan bangunan tersebut terletak di Kalasan.
Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama
Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran
kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur.
Raja Panangkaran
dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh-musuh kerajaan. Daerahnya
bertambah luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra.
Agama Buddha Mahayana waktu itu berkembang pesat. Ia juga
memerintahkan didirikannya bangunan-bangunan suci. Misalnya, Candi Kalasan dan
arca Manjusri.
Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul persoalan
dalam keluarga Syailendra, karena adanya perpecahan antara anggota keluarga
yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih memeluk agama Hindu
(Syiwa). Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram
Kuno. Satu pemerintahan dipimpin oleh
tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa
bagian utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama
Buddha berkuasa di daerah Jawa bagian selatan. Keluarga Syailendra yang
beragama Hindu meninggalkan bangunanbangunan candi di Jawa bagian utara.
Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan Dieng (Candi Dieng) dan kompleks
Candi Gedongsongo. Kompleks Candi Dieng memakai namanama tokoh wayang seperti
Candi Bima, Puntadewa, Arjuna, dan Semar.
Sementara yang
beragama Buddha meninggalkan candi-candi seperti Candi Ngawen, Mendut, Pawon
dan Borobudur. Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga
pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan pada zaman Pramudawardani
dan Pikatan.
Perpecahan di dalam
keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu akhirnya bersatu
kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang
beragama Hindu dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu
terjadi pada tahun 832 M. Setelah itu, Dinasti Syailendra bersatu kembali di
bawah pemerintahan Raja Pikatan.
Candi Borobudur
Mahakarya Dynasti Syailendra
Sumber: https://bob.kemenpar.go.id/1896-candi-borobudur/
Candi Borobudur didirikan oleh Raja Samaratungga dari
Dinasti Syailendra pada abad ke-9. Candi itu terletak di antara dua bukit,
tepatnya di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Candi
Borobudur yang terletak pada satu garis lurus dengan Candi Pawon dan Candi
Mendut dipandang sebagai satu kesatuan. Letak candi seperti ini sesuai dengan
aturan yang disebut dalam kitab-kitab pedoman para seniman agama di India. kitab
itu disebut dengan Vastusastra. Suatu kitab yang menjelaskan tentang bangunan
suci agama Hindu. Namun demikian, aturan-aturannya juga digunakan sebagai
desain bangunan suci agama Buddha.
Borobudur merupakan karya yang unik. Susunan Candi Borobudur
berbeda dengan susunan candi di India. Pada umumnya susunan candi di India
berdiri di atas fondasi yang tertanam di dalam tanah. Fondasi tersebut berdenah
dengan jari-jari delapan. Di titik tengah terdapat tiang yang dibuat tembus ke
atas permukaan tanah, dan diteruskan menjadi tongkat dengan payung. Candi
Borobudur didirikan langsung di atas bukit tanpa fondasi yang ditanam di dalam
tanah seperti yang terdapat di India. Dilihat dari susunannya, Candi Borobudur
merupakan sebuah teras-stupa. Kaki stupa berbentuk undak teras persegi, disusul
teras mengalir yang dihiasi stupa. Susunan candi ini memperlihatkan kuatnya
pengaruh kebudayaan Jawa pada abad ke-8.
Bangunan ini dinamai Bhumisambharabhudara yang artinya
adalah bukit peningkatan kebijakan setelah melampaui sepuluh tingkat
Boddhisattwa. Borobudur sendiri terdiri atas sepuluh tingkatan, yang dapat
dipahami sebagai lambang ke-10, jalan Boddhisattwa. Candi itu berbentuk bujur
sangkar, dengan ukuran 123 m x 123 m di bagian kakinya. Bentuk bangunan seperti
itu dapat ditafsirkan sebagai bentuk mandala. Tinggi Candi Borobudur adalah
35,4 m. Secara vertikal Candi Borobudur terdiri dari dua pola, yaitu pola
undak-undak persegi dan pola bangun vertikal. Karena bentuknya itulah Candi
Borobudur dapat dipahami sebagai sebuah stupa yang besar.
Dalam agama Buddha
stupa merupakan perwujudan dari makrokosmos yang terdiri atas tiga tingkatan,
yaitu kamadatu, rupadatu, dan arupadatu.
Kamadatu merupakan alam bawah, bagian ini berada di bagian bawah Candi
Borobudur. Pada kamadatu terdapat relief karmawibangga, yaitu suatu hukum sebab
akibat, yang merupakan hasil perbuatan
manusia. Arupadatu adalah alam atas, yaitu tempat para dewa. Bagian ini berada
pada tingkat ketiga, termasuk stupa induk berada di atas rupadatu. Cara membaca
relief pada dinding Candi Barobudur searah dengan jarum jam. Sebagai candi
pemujaan, Borobudur mempunyai hubungan dengan Candi Mendut dan Candi Pawon.
Ketiga candi itu menunjukkan proses suatu ritual keagamaan. Mula-mula ritual
keagamaan dilakukan di Candi Mendut. Kemudian dilakukan persiapan di Candi
Pawon dan puncak ritual keagamaan dilakukan di Candi Borobudur.
Rupadatu
Kamadatu
Sumber: https://www.google.com/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Ftravelinkmagz.com%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F10%2FDIY-Borobudur_1920x1080px_3.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Ftravelinkmagz.com%2Ftag%2Frupadhatu%2F&tbnid=Sx1bqd58RzaI_M&vet=12ahUKEwi86_eyla7sAhVUnksFHacpCD0QMygAegUIARCgAQ..i&docid=qBWyJoMYKeKxyM&w=1920&h=1080&q=rupadhatu%20candi%20borobudur&safe=strict&ved=2ahUKEwi86_eyla7sAhVUnksFHacpCD0QMygAegUIARCgAQ dan https://www.liputan6.com/citizen6/read/2292714/misteri-relief-kamadhatu-di-kaki-candi-borobudur
Dari arca dan relief yang terdapat pada dinding dan
pagar candi menunjukkan bahwa Candi
Borobudur sebagai bangunan berciri agama Buddha aliran Mahayana. Dari arca dan
relief itu juga dapat dilihat adanya penyatuan ajaran Mahayana dan Tantrayana,
sesuai filsafat Yogacara. Dalam relief itu tergambar tentang kehidupan
sehari-hari di Jawa, seperti cara berpakaian, rumah tinggal, candi, alat
berburu, alat-alat keperluan sehari-hari, serta jenis-jenis tanaman.
Dalam Kitab Sang
Hyang Kamahayanikan Mantranaya, pada abad ke-10, Mpu Sindok dari Dinasti Isyana
menyebarkan ajaran dari India, yaitu agama Buddha. Ajaran itu disebarkan di
Jawa dan disesuaikan dengan pengetahuan penduduk pada saat itu. Lebih jauh lagi
hasil pengetahuan itu diwujudkan dalam bentuk bangunan candi oleh penduduk
Jawa, bukan oleh penduduk India. Candi itu kemudian digunakan sebagai sarana
ibadah mereka. Bukti itu ditunjukkan dengan tidak adanya Kampung Keling yang
berada di sekitar Candi Borobudur. Bukti lainnya itu ditemukannya tulisan yang
memakai huruf Jawa kuno, dengan bahasa Sanskerta, dengan tidak menggunakan tata
bahasa Sanskerta.
Candi Dieng
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kompleks_Candi_Dieng
Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang
bernama Balaputradewa menunjukkan sikap menentang terhadap Pikatan. Kemudian
terjadi perang perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam
perang ini Balaputradewa membuat benteng pertahanan di perbukitan di sebelah
selatan Prambanan. Benteng ini sekarang kira kenal dengan Candi Boko. Dalam
pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra.
Balaputradewa kemudian menjadi raja di Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856 Rakai Pikatan turun takhta dan digantikan oleh Kayuwangi atau Dyah Lokapala. Kayuwangi kemudian digantikan oleh Dyah Balitung. Raja Balitung merupakan raja yang terbesar. Ia memerintah pada tahun 898 - 911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai Wafukura Dyah Balitung Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidangbidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaanmengalami kemajuan. Ia telah membangun Candi Prambanan sebagai candi yang anggun dan megah. Relief-reliefnya sangat indah.
Candi Gedongsongo
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Candi_Gedong_Songo
Sesudah pemerintahan
Balitung berakhir, Kerajaan Mataram mulai mengalami kemunduran. Raja yang berkuasa
setelah Balitung adalah Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang
menyebabkan kemunduran Mataram Kuno antara lain adanya bencana alam dan ancaman
dari musuh yaitu Kerajaan Sriwijaya.
Kekuasaan Dinasti
Isyana
Pertentangan di antara keluarga Mataram, tampaknya terus
berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok pada tahun 929 M. Pertikaian
yang tidak pernah berhenti menyebabkan Mpu Sindok memindahkan ibu kota kerajaan
dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti Isyanawangsa.
Di samping pertentangan keluarga, pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan
kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung Merapi. Berdasarkan
prasasti, pusat pemerintahan Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak
Tamwlang diperkirakan dekat Jombang, sebab di Jombang masih ada desa yang
namanya mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah, dan Bali.
Setelah Mpu Sindok
meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri Isyanatunggawijaya.
Ia naik takhta dan kawin dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah
putra yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta
menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh Dharmawangsa Tguh
yang memeluk agama Hindu aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya, Dharmawangsa
Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata
dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhta ia
digantikan oleh Raja Airlangga, yang saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya
kerajaan Dharmawangsa menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan. Selama di hutan
ia hidup bersama pendeta sambil mendalami agama. Airlangga kemudian dinobatkan
oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja. Begitulah kehidupan agama
pada masa Mataram Kuno. Meskipun mereka berbeda aliran dan keyakinan, penduduk
Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada.
Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera mengadakan
pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika
diserang Raja Colamandala dari India Selatan. Pada tahun 1037 M, Airlangga
berhasil mempersatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh
Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu
kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.
Pada tahun 1042,
Airlangga mengundurkan diri dari takhta kerajaan, lalu hidup sebagai pertapa
dengan nama Resi Gentayu (Djatinindra). Menjelang akhir pemerintahannya
Airlangga menyerahkan kekuasaanya pada putrinya Sangrama Wijaya TunggaDewi.
Namun, putrinya itu menolak dan memilih untuk menjadi seorang petapa dengan
nama Ratu Giriputri.
Airlangga
memerintahkan Mpu Bharada untuk membagi dua kerajaan. Kerajaan itu adalah
Kediri dan Janggala. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya perang saudara
di antara kedua putranya yang lahir dari selir. Kerajaan Janggala di sebelah
timur diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana),
dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar
Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan Kediri di
sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya
(Jayawarsa) dengan ibu kota di Kediri (Daha), meliputi daerah sekitar Kediri
dan Madiun.
Kerajaan Kediri
adalah kerajaan pertama yang mmpunyai sistem administrasi kewilayahan negara
berjenjang. Hierarki kewilayahan dibagi atas tiga jenjang. Struktur paling
bawah dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi bagian-bagian yang
lebih kecil lagi yang dipimpin oleh seorang duwan. Setingkat lebih
tinggi di atasnya disebut wisaya,
yaitu sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara atau
kerajaan yang disebut dengan bhumi.
Comments
Post a Comment